KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat
Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya saya masih diberi kesempatan
untuk menyelesaikan makalah ini yang berjudul Aspek Sosial Budaya pada setiap
Perkawinan yang berhubungan dengan Kesehatan.
Tidak lupa saya ucapkan kepada dosen
pembimbing dan teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan
makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh
sebab itu penulis angat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan
semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan
teman-teman. Amin…
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR
DAFTAR
ISI
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
1.2
Tujuan
Makalah
1.3
Rumusan
Masalah
PEMBAHASAN
2.1 Aspek sosial budaya pada setiap perkawinan
KESIMPULAN
DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Aspek sosial dan budaya sangat
mempengaruhi pola kehidupan semua manusia. Dalam era globalisasi dengan
berbagai perubahan yang begitu ekstrem pada masa ini menuntut semua manusia
harus memperhatikan aspek sosial budaya. Salah satu masalah yang kini banyak
merebak di kalangan masyarakat adalah kematian ataupun kesakitan pada ibu dan
anak yang sesungguhnya tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan
lingkungan di dalam masyarakat dimana mereka berada. Disadari atau tidak,
faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti konsepsi-konsepsi
mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab- akibat antara makanan dan kondisi
sehat-sakit, kebiasaan dan ketidaktahuan, seringkali membawa dampak baik
positif maupun negatif terhadap kesehatan ibu dan anak. Pola makan, misalnya,
pacta dasarnya adalah merupakan salah satu selera manusia dimana peran
kebudayaan cukup besar. Hal ini terlihat bahwa setiap daerah mempunyai pola
makan tertentu, termasuk pola makan ibu hamil dan anak yang disertai dengan
kepercayaan akan pantangan, tabu, dan anjuran terhadap beberapa makanan
tertentu.
1.2 Tujuan Makalah
Mengetahui
aspek sosial budaya pada setiap perkawinan
1.3
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana aspek sosial budaya pada setiap perkawinan?
BAB
2
PEMBAHASAN
2.1
Aspek sosial budaya pada setiap perkawinan
Aspek sosial budaya sangat
berpengaruh pada pola kehidupan manusia. Dalam ere globalisasi berbagai
perubahan yang ekstrempada masa ini menuntut semua manusia lebih memperhatikan
aspek sosial budaya. Salah satu masalah yang banyak merebak di kalangan
masyarakat adalah kematian ataupun kesakitan pada ibu dan anak, yang
sesungguhnya tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan di
dalam masyarakat dimana mereka berada.
Fakta-fakta kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti konsepsi - konsepsi mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab - akibat antara makanan kondisi sehat - sakit, kebiasaan dan ketidaktahuan sering kali membawa dampak baik positif maupun negatif terhadap kesehatan ibu dan anak. Pola makan misalnya pasca dasarnya adalah merupakan salah satu selera manusia dimana peran kebudayaan cukup besar. Hal ini terlihat bahwa setiap daerah mempunyai pola makan tertentu, termasuk pola makan ibu hamil dan anak yang disertai dengan kepercayaan akan pantangan, tabu, dan anjuran terhadap beberapa makanan tertentu.
Fakta-fakta kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti konsepsi - konsepsi mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab - akibat antara makanan kondisi sehat - sakit, kebiasaan dan ketidaktahuan sering kali membawa dampak baik positif maupun negatif terhadap kesehatan ibu dan anak. Pola makan misalnya pasca dasarnya adalah merupakan salah satu selera manusia dimana peran kebudayaan cukup besar. Hal ini terlihat bahwa setiap daerah mempunyai pola makan tertentu, termasuk pola makan ibu hamil dan anak yang disertai dengan kepercayaan akan pantangan, tabu, dan anjuran terhadap beberapa makanan tertentu.
Salah satu contoh aspek sosial
budaya perkawinan di provinsi Aceh Perkawinan adalah sesuatu yang sangat sakral
di dalam budaya masyarakat. Aceh sebab hal ini berhubungan dengan nilai - nilai
keagamaan. Perkawinan pada masyarakat Aceh merupakan serangkaian aktivitas yang
terdiri dari beberapa tahap, mulai dari pemilihan jodoh (suami/istri),
pertunangan dan hingga upacara peresmian perkawinan.
Suatu kebiasaan bagi masyarakat
Aceh, sebelum pesta perkawinan dilangsungkan terlebih dahulu tiga hari tiga
malam diadakan upacara meugaca atau boh gaca (berinai) bagi penganti laki -
laki dan penganti perempuan di rumahnya masing - masing. Tampak kedua belah tangan
dan kaki pengantin dihiasi dengan inai.
Pada puncak peresmian perkawinan,
maka diadakan acara pernikahan. Setelah selesai acara nilah, linto baro di
bimbing ke pelaminan persandingan, di mana dara baro telah terlebih dahulu
duduk menunggu. Sementara itu dara baro bangkit dari pelaminan untuk menyembah
suaminya.
Penyembahan suami ini disebut dengan seumah teuot linto. Setelah dara baro teuot linto, maka linto baro memberikan sejumlah uang kepada dara baro yang disebut dengan pengseumemah (uang sembah).
Penyembahan suami ini disebut dengan seumah teuot linto. Setelah dara baro teuot linto, maka linto baro memberikan sejumlah uang kepada dara baro yang disebut dengan pengseumemah (uang sembah).
Selama acara persandingan ini,
kedua mempelai dibimbing oleh seorang nek peungajo. Biasanya yang menjadi
peungajo adalah seorang wanita tua. Kemudian kedua mempelai itu diberikan makan
dalam sebuah pingan meututop (piring adat) yang indah dan besar bentuknya.
Selanjutnya kedua mempelai tadi di peusunteng (disunting) oleh sanak keluarga
kedua belah pihak yang kemudian diikuti oleh para jiran ( tetangga). Keluarga
pihak linto baro menyuntingi (peusijuk/ menepung tawri) dara baro dan keluarga
pihak dara baro menyuntingi pula linto baro. Tiap - tiap orang menyuntingi
selain menepung tawari dan melekatkan pulut kuning di telinga temanten, juga
member sejumlah uang yang disebut teumentuk. Acara peusuntengini lazimnya
didahului oleh ibu linto baro, yang kemudian disusu oleh orang lain secara
bergantian.
Apabila acara peusunteng sudah
selesai, maka rombongan linto baro minta ijin untuk pulang ke rumahnya. Linto
baro turut pula dibawa pulang. Ada kalanya pula linto baro tidak dibawa pulang,
ia tidur di rumah dara baro, tetapi pada pagi - pagi benar linto baro sudah
meninggalkan rumah dara baro. karena malu menurut adat, bila linto baro masih
di rumah dara baro sampai siang.
BAB
3
KESIMPULAN
DAN SARAN
3.1
Kesimpulan
Dari pembahasan sebelumnya dapat ditarik
kesimpulan, sebagai berikut:
1.
Berdasarkan
pada aspek sosial budaya pola penyesuaian perkawinan dilakukan secara bertahap,
yaitu fase: bulan madu, pengenalan kenyataan, kemudian mulai terjadi krisis
perkawinan. Apabila pasangan sukses mengatasi problema keluarga dengan
berapatasi dan membuat aturan dan kesepakatan dalam rumah tangga maka fase
kebahagiaan sejati akan diperolehnya.
3.2
Saran
Saran yang kami berikan untuk para
pembaca makalah ini, yaitu: setiap aspek sosial budaya yang melintas atau
menjadi dasar bagi pola kehidupan manusia sehari-hari hendaknya dapat disaring,
karena tidak setiap aspek sosial budaya yang masuk adalah postif.
DAFTAR PUSTAKA
·
Buku Pendidikan
Kewarganegaraan
§ Arnold, Matthew.
1869. Culture and Anarchy. New York:
Macmillan. Third edition, 1882, available online. Retrieved: 2006-06-28.
§ Barzilai, Gad.
2003. Communities and Law: Politics and Cultures of Legahkjkjl
Identities. University of Michigan Press.
§ Boritt, Gabor S.
1994. Lincoln and the Economics of the American Dream. University of
Illinois Press. ISBN 978-0-252-06445-6.
§ Bourdieu, Pierre.
1977. Outline of a Theory of Practice. Cambridge University
Press. ISBN 978-0-521-29164-4
§ Cohen, Anthony P.
1985. The Symbolic Construction of Community. Routledge: New York,
§ Dawkiins, R. 1982. The
Extended Phenotype: The Long Reach of the Gene. Paperback ed.,
1999. Oxford Paperbacks. ISBN 978-0-19-288051-2
§ Geertz, Clifford.
1973. The Interpretation of Cultures: Selected Essays. New York. ISBN 978-0-465-09719-7.
— 1957. "Ritual and Social Change: A Javanese
Example", American Anthropologist, Vol. 59, No. 1.
§ Goodall, J.
1986. The Chimpanzees of Gombe: Patterns of Behavior. Cambridge, MA:
Belknap Press of Harvard University Press. ISBN 978-0-674-11649-8
§ Hoult, T. F., ed.
1969. Dictionary of Modern Sociology. Totowa, New Jersey, United States:
Littlefield, Adams & Co.
§ Jary, D. and J. Jary.
1991. The HarperCollins Dictionary of Sociology. New York:
HarperCollins. ISBN 0-06-271543-7
§ Keiser, R. Lincoln
1969. The Vice Lords: Warriors of the Streets. Holt, Rinehart, and
Winston. ISBN 978-0-03-080361-1.
§ Kroeber, A. L. and C.
Kluckhohn, 1952. Culture: A Critical Review of Concepts and
Definitions. Cambridge, MA: Peabody Museum
§ Kim, Uichol (2001).
"Culture, science and indigenous psychologies: An integrated
analysis." In D. Matsumoto (Ed.), Handbook of culture and
psychology. Oxford: Oxford University Press
§ Middleton, R.
1990. Studying Popular Music. Philadelphia: Open University Press. ISBN 978-0-335-15275-9.
§ Tylor, E.B.
1974. Primitive culture: researches into the development of mythology,
philosophy, religion, art, and custom. New York: Gordon Press. First
published in 1871. ISBN 978-0-87968-091-6
§ O'Neil, D. 2006. Cultural
Anthropology Tutorials, Behavioral Sciences Department, Palomar
College, San Marco, California. Retrieved: 2006-07-10.
§ Reese, W.L.
1980. Dictionary of Philosophy and Religion: Eastern and Western
Thought. New Jersey U.S., Sussex, U.K: Humanities Press.
§ UNESCO. 2002. Universal Declaration on Cultural Diversity, issued on International Mother Language Day, February
21, 2002. Retrieved: 2006-06-23.
§ White, L. 1949. The
Science of Culture: A study of man and civilization. New York: Farrar,
Straus and Giroux.
§ Wilson, Edward O.
(1998). Consilience: The Unity of Knowledge. Vintage: New
York. ISBN 978-0-679-76867-8.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar